Review Buku : Agar Anak Kita Seperti Nabi Ismail

Penulis : Ratna Dewi Idrus
Judul : Agar Anak Kita Seperti Nabi Ismail
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Koleksi : Ipusnas




Buku ini berisi beberapa hal tentang bagaimana caranya agar kita bisa memiliki anak yang sholeh, sabar dan taat seperti Nabi Ismail. Poin-poinnya juga diisi dengan beberapa kisah para Nabi, sahabat dan tokoh inspiratif saat ini.

Saya akan mencoba menjabarkan beberapa poinnya saja. Jika ingin membaca lebih lengkap, tentu kalian bisa membaca sendiri bukunya. Berikut ini adalah beberapa poin yang ada dalam buku tersebut. Mudah-mudahan bisa bermanfaat dan bisa menjadi pengingat untuk diri sendiri.

Memahami bahwa Anak Bukan Tanda Cinta Allah

Sebenarnya cukup tertegun ketika membaca paragraf pembuka dalam buku ini. Di jaman jahiliah, orang-orang dahulu banyak yang berbangga dengan banyaknya harta dan anak-anak mereka, padahal anak sebenarnya hak preoregatif dari Allah. 

Ada orang yang dikaruniai anak, ada yang tidak. Ada yang diberikan anak perempuan, ada pula yang laki-laki. Ada yang diberi jumlah anak yang banyak, ada pula yang sedikit. Semuanya sama saja. Yang menjadi pembeda adalah bagaimana agar kita menjadikan setiap kondisi tersebut sebagai jalan untuk mengantarkan kita pada ketaatan kepada Allah.

Lagipula jika anak adalah bukti tanda cinta, tentulah Nabi Ibrahim dikaruniai anak yang banyak, sementara kita tahu bahwa Nabi Ibrahim baru mendapatkan anak ketika usianya telah menua. Tentu yang kita pelajari dari beliau bukanlah tentang sosok anak, melainkan bagaimana  ia bisa bersabar dengan segala ketentuan dan tidak berputus asa pada rahmat Allah.. Masya Allah.


Anak dan Harta adalah Fitnah (Ujian)

Pada dasarnya anak dan harta yang kita miliki bisa saja melalaikan kita dari ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, sebagai orang tua, penting untuk kita mendidik keluarga menjadi orang yang selamat di dunia dan akhirat. Jangan sampai keberadaan keluarga justru membuat kita lalai dalam mengingat Allah.

Jangan Suka Mengeluh

Terutama pada isteri (note to myself), sebaiknya hindari perangai suka mengeluh. Nabi Ibrahim pernah meminta Nabi Ismail untuk menceraikan isterinya disebabkan sang isteri mengeluh dihadapannya yang saat itu berpura-pura datang menjadi tamu di rumahnya saat Nabi Ismail sedang tidak di rumah. Belajarlah untuk bersabar dan bersyukur dengan pemberian suami *ntms.

Ajarkan Anak pada Ketauhidan dan Keimanan

Peristiwa besar yang terjadi ketika Nabi Ibrahim diminta menyembelih anak yang is sudah tunggu berpuluh-puluh tahun, cukuplah menjadi bukti bahwa betapa taat dan patuhnya Nabi Ibrahim kepada perintah Allah. Ketaatan tersebut bahkan juga dimiliki oleh Nabi Ismail yang dengan ikhlas merelakan dirinya untuk disembelih. Ketika Nabi Ibrahim sudah mendekati ajalnya, bukan persoalan harta dan dunia yang ia tanyakan kepada anak-anaknya, tapi sebuah pertanyaan besar yang menyiratkan betapa sholih dan betapa pedulinya Nabi Ibrahim pada anak keturunannya,
"Siapakah yang engkau sembah sepeninggalku, Wahai Anak Cucuku?"
Didikan yang kita berikan kepada anak kita haruslah berkesinambungan agar keimanan dan ketauhidan itu terus terjaga hingga ke anak keturunan kita. Pun dengan Nabi Ibrahim, ia pun menginginkan agar anak cucunya bisa memiliki penghambaan yang sama agar bisa memiliki iman yang kuat dan teguh dengan harapan semoga kelak semua bisa berkumpul kembali di dalam surgaNya.

Berdoa kepada Allah

Jangan pernah putus berdoa agar Allah mau menganugerahkan keturunan yang sholih kepada kita. Berdoalah dengan penuh pengharapan, sebagaimana sikap yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul. Berdoalah dengan sungguh-sungguh, iringi dengan usaha, jangan tergesa-gesa untuk segera melihat hasilnya, bersabar dan senantiasa menjaga hubungan baik dengan Allah. Insya Allah akan dikabulkan walaupun untuk realisasinya itu tetap bergantung kepada ketentuan Allah.


Terima Anak dengan Penerimaan yang Baik

Anak-anak memiliki jiwa yang sensitif. Ia bisa merasakan apakah kehadiran mereka diterima ataukah ditolak oleh orang tua.Oleh karena itu, sejak anak masih dalam kandungan, seorang ibu hendaklah menerima kehadiran anak agar anak bisa tumbuh dengan baik dan menjadi pribadi berjiwa tenang.

Yakin kepada Allah

Nabi Ibrahim adalah orang yang lembut dan santun. Ia juga penyayang dan memiliki jiwa yang halus. Ketika ia diperintahkan Allah untuk meninggalkan Hajar dan anaknya Ismail yang saat itu masih bayi, tentu tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim saat itu. Pun juga dengan Siti Hajar yang sempat bertanya-tanya akan kepergan suaminya, Namun, ketaatannya kepada Allah membuatnya yakin bahwa Allah tak akan mungkin disia-siakan oleh Rabbnya. Oleh karena itu, berbekal keyakinan dan ketaatan kepada Allah disertai usaha Hajar yang terus mendaki bukit sebanyak 7 kali untuk mencari air, ternyata air yang ia cari justru ada dibawah kaki kecil Ismail. Kesabaran, keyakinan kepada Allah dan kesungguhan Siti Hajar telah memberikan pembelajaran yang akan terus diingat oleh manusia sepanjang zaman.

Bertutur Kata yang Baik

"... ucapkanlah perkataan yang baik kepada manusia." (Qs. Al-baqarah:83)
Terkadang ketika tingkah anak tidak menyenangkan hati, maka hati kita juga tergoda untuk marah dan mengomeli anak. Tapi coba kita renungkan, ketika kita memarahi anak, akan muncul perasaan tak enak, tak nyaman, merasa bersalah atau mungkin kita merasa hati ini seakan mengeras. Pada saat kita menyadari itu, minta ampunlah kepada Allah dan perbanyak ibadah sunnah. Minta maaf juga pada anak karena barangkali kemarahan kita telah melukai hatinya. Seperti yang disabdakan Rasulullah sallallahu'alaihi wassalam ketika ada seorang perempuan yang menarik bayinya dengan keras karena melihatnya mengencingi Rasulullah, Rasulullah pun berkata,

"Pakaian ini bisa kubersihkan, namun bisakah membersihkan kekeruhan jiwa anakmu itu?"
Pada dasarnya, tidak ada pendidikan yang berlandaskan kemarahan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu'alaihi wassalam,

"Dua sifat yang dicintai Allah subhana wata'ala, yakni penyabar dan tidak pemarah."
Bagi seorang ibu, terkadang yang membuat ia mudah marah kepada anak adalah karena kondisinya yang lelah. Oleh karena itu, penting untuk menenangkan hati dan berempati pada kondisi anak agar kita bisa memahami alasan kenapa ia bertingkah tak menyenangkan dihadapan kita.

"Hormatilah anakmu dan baguskanlah sikapmu dalam mengajarinya," (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra.)

Itulah beberapa poin penting yang saya dapatkan dari buku ini. Sebenarnya ada banyak sekali poin-poin yang bisa diambil dari pelajaran. Salah satu yang jadi reminder juga buat diri sendiri adalah ketika penulis menceritakan kisah seorang Dahlan Iskan yang mendeskripsikan sosok ibunya yang jarang sekali marah dan lebih sering tersenyum kepada anak. Hal itu menjadi tamparan untuk diri sendiri yang selama ini masih suka marah dan menunjukkan wajah masam kepada anak, padahal harusnya seorang ibu bisa menjadi penyejuk hati dan pembawa kenyamanan bagi anak-anak di rumah, bukan malah sebaliknya.

Intinya ini buku yang cukup bagus untuk jadi referensi para orang tua dalam mendidik anak, walaupun beberapa poin dan penjelasannnya sudah sering saya dengar sebelumnya. Mendidik anak adalah sesuatu yang berat, bahkan lebih berat dari rasa sakitnya melahirkan. Oleh karena itu, penting untuk terus mengingatkan diri sendiri karena pada dasarnya kita seringkali lupa ketika melakukan kesalahan-kesalahan sebagai orang tua. Membaca buku seperti ini dapat menjadi pengingat kembali terutama ketika kita sudah mulai lalai dan mulai lemah dalam membimbing anak-anak di rumah.


(karena menulis sejatinya adalah untuk mengingatkan diri sendiri)

3 komentar untuk "Review Buku : Agar Anak Kita Seperti Nabi Ismail"

  1. Comment Author Avatar
    Artikelnya saat bermanfaat, pas banget buat saya buat di ajarkan kepada anak saya..

    #bisnisumeng.blogspot.com
  2. Comment Author Avatar
    Karakter anak juga terhantung dari cara orangtua mengasuhnya
  3. Comment Author Avatar
    Anak Akan lebih Baik bila Di asuh sendiri (Tanpa ibu asuh)

Silahkan sampaikan pendapatmu. Mari kita berdiskusi :)