Adab Memberi Nasihat

 

 

sumber foto : pixabay.com/geralt


Sebagai seorang pengguna media sosial, saya merasa bahwa jari-jari kita ini memang sulit dikontrol kalau sudah membahas soal kehidupan orang lain. Setuju gak? Kita kadang dengan mudahnya ikut berkomentar di postingan orang yang sebenarnya kita juga gak kenal-kenal amat. Bahkan ngobrol dan ketemu aja gak pernah, tapi kita berani bicara ini dan itu dengan dalih ingin memberi nasihat. 

Yang jadi masalah, apa benar niat kita itu hanya ingin memberi nasihat? Ataukah kita merasa senang memperlihatkan kesalahan orang lain? Padahal jika kita memang inin memberi nasihat, bukankah kita harus punya adab ketika melakukannya? 

Saya teringat ada sebuah tulisan lama yang saya temukan dari sebuah grup yaitu grup tholabul ilmy namanya. Saat saya membaca kisah singkat itu rasanya sungguh begitu kagum. Betapa menakjubkannya adab orang sholih itu.

Kisah itu sendiri sebenarnya jadi tamparan buatku juga secara pribadi, apalagi jika melihat kondisi di jaman sekarang dengan maraknya media sosial. Begitu mudahnya kita berkomentar tanpa peduli perasaan orang lain. 

Kita sadar nggak sih, bahwa memberi komentar buruk di postingan orang itu bukan merupakan sesuatu yang bijak untuk dilakukan? Media sosial seakan menghilangkan sekat antara ruang publik dan privasi. 

Kita bisa seenaknya menasihati orang lewat komentar kita di media sosialnya, padahal bisa saja komentar itu malah membuatnya merasa dipermalukan atau malah sakit hati. Bukankah itu menjadi dosa juga untuk diri kita sendiri?

Jika nasihat disampaikan dengan cara yang baik dan pada tempat yang tepat, insya Allah orang yang dinasihati pun akan lebih mudah menerima kebenaran yang kita sampaikan. Pun demikian pula sebaliknya. Sekalipun nasihat kita itu benar, tapi kalau penyampaiannya gak benar, orang yang kita nasihati pun bisa jadi gak mudah untuk menerima, bahkan ia bisa cenderung menolak bahkan marah.  Hal ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan oleh Imam Asy Syafi’i:

“Nasehati aku saat sendiri, jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab nasehat ditengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak; Maka maafkan jika hatiku berontak…”

Nah, terkait hal tersebut, saya akan berbagi sebuah kisah lama yang sangat bagus untuk menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya untuk saya pribadi terutama dalam menasihati orang lain.

Kisah ini diceritakan oleh Harun ibn ‘Abdillah. Beliau merupakan seorang ulama ahli hadits yang juga pedagang kain di kota Baghdad. Beliau memberikan pengakuan tentang apa yang beliau alami seperti yang dituturkan kedalam kisah berikut ini:

***

Suatu hari, Saat malam beranjak larut, pintu rumahku diketuk oleh seseorang. Aku pun bertanya,“Siapa..?"

“Ahmad”, jawab orang tersebut pelan.

“Ahmad yang mana..?” tanyaku makin penasaran.

“Ibn Hanbal”, jawab orang tersebut.

"Subhanallah, itu guruku..!" ujarku dalam hati.

Maka kubukalah pintu rumahku. Aku pun mempersilakan guruku masuk. Kulihat guruku tersebut berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar langkahnya oleh orang lain.Saat dipersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar kursinya tidak sampai berderit mengeluarkan suara.

“Wahai guru, ada urusan yang penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini..?” tanyaku padanya. 

“Maafkan aku ya Harun. Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadits selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu. Ada hal yang mengusik hatiku sedari siang tadi,” ujar Ahmad Ibn Hanbal.  

Aku pun terkejut. Apakah hal yang mengusik hati guruku sejak siang tadi. Maka aku pun beryanya,  “Apakah itu wahai guru?” tanyaku penasaran. 

“Mmmm begini... ” suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan, nyaris berbisik.

“Siang tadi aku lewat disamping majelismu, saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadits-hadits, sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan. Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun. Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk..!” ujar beliau. Mendengar itu aku pun tercekat, tak mampu berkata-kata. 

Setelah mengucapkan hal itu, beliau pun berbisik lagi, mohon pamit. Beliau  melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati.

Masya Allah… Inilah guruku Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasihat. Padahal beliau bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi itu tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku dihadapan murid-muridku. Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain yang mengetahui kesalahanku.Bahkan beliau berbicara dengan suara yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan, agar tidak ada anggota keluargaku yang terjaga. Lagi-lagi demi menjaga wibawaku sebagai imam dan teladan bagi keluargaku.

***

Sungguh, luar biasa adab ulama dan orang-orang sholih. Sedemikian rapatnya mereka menjaga aib atau pun kekurangan saudaranya agar tidak diketahui orang lain. 

Sangat bertolak belakang dengan apa yang kita lihat saat ini disaat orang-orang justru merasa senang mengumbar aib sendiri maupun orang lain. Ini juga menurutku terkait pula dengan seberapa beningnya hati kita. Semoga kita dijauhkan dari sikap seperti itu apalagi di zaman yang penuh fitnah seperti sekarang ini.

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77).

Sumber: https://muslim.or.id/52031-adab-adab-dalam-memberikan-nasehat.html

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77).

Sumber: https://muslim.or.id/52031-adab-adab-dalam-memberikan-nasehat.html

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77).

Sumber: https://muslim.or.id/52031-adab-adab-dalam-memberikan-nasehat.html


Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia. Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77 dalam adab dalam memberikan nasihat.



Posting Komentar untuk "Adab Memberi Nasihat"