Keluarga tanpa Kepala


pexels.com



Malam itu hujan begitu lebat. Tampak bapak-bapak berusia senja sedang melantunkan ayat-ayat Tuhan sambil terkantuk-kantuk. Mereka semua duduk beralas tikar ditemani kopi dan beberapa kue yang terbuat dari tepung beras. 

Di belakang rumah berkumpul para perempuan paruh baya. Di antara mereka ada yang sedang mengaji, mempersiapkan hidangan untuk tetamu, dan ada pula yang sibuk berbisik-bisik mempercakapkan sesuatu. 

"Duh, malang betul nasib anak-anak Fatma. Ditinggal mati oleh bapaknya." ujar seorang ibu sambil mengisi gelas dengan kopi panas. 

"Ah.. Ku pikir mereka malah beruntung. Kau tau sendiri kan siapa itu Parman. Dia tak pernah sekalipun memikirkan keluarga. Fatma dan anak-anak akan lebih terbebas darinya," timpal seorang perempuan yang sedang menyusun kue di piring kaleng.

“Betul juga. Semasa hidup tabiatnya memang buruk. Entah kenapa Fatma dulu dijodohkan dengan Parman. Malang betul nasibnya menikah dengan lelaki pemalas dan sering main tangan,” suara seorang Ibu berkerudung biru tiba-tiba ikut menimpali. 

"Hushh.. Tak usah banyak cakap. Tak elok membicarakan orang yang sudah mati. Apalagi jika terdengar oleh Fatma dan anak-anaknya," seorang ibu lain ikut menimpali. 

Sayup-sayup suara ibu-ibu itu sampai pula di bilik kamar Seruni. Seruni hanya diam. Entah apa yang dirasakan Seruni malam itu. Hambar. Tawar. Tak ada rasa sedih dalam hatinya. Padahal kalau dipikir-pikir, harusnya ia sedang berduka akan kematian Bapaknya. 

Apakah rasa benci itu begitu mengakar sehingga tak ada rasa duka sedikit pun yang terlintas di hatinya. Apakah itu hal yang normal terjadi dalam sebuah keluarga? Seruni menyangsikan itu.

"Tabahkan hatimu, Run," 
"Yang kuat ya, Run," 

Beberapa ibu tampak sesekali mendatangi Seruni dan berusaha menghiburnya. Seruni hanya diam. Sesekali mengangguk. 

Apakah Ibu-ibu itu benar-benar tulus mengucapkan itu ataukah hanya sebuah basa basi palsu? Yang Seruni tahu, mereka semua tertipu. Mereka pikir ia sedang berduka, padahal sebenarnya tidak. Tak pernah sekalipun Seruni merindukan dan menyayangi lelaki itu.

“Aku lelah mendengar ucapan mereka,” ujar Dahlia, kakak perempuannya. Seruni hanya terdiam. Dahlia bangkit dari kursi kayu yang biasa dipakai ketika sedang belajar. Ia berjalan menuju pintu kamar dan menutupnya.

“Kak, adakah kakak merasa sedih? Kenapa aku tak merasa sedih sedikitpun?” Tanya Seruni. Dahlia menatap adiknya dengan seksama.

“Menurutmu?” Dahlia malah bertanya balik. Seruni menggeleng. 

Dahlia tampak mengalihkan pandangan matanya ke arah buku belajarnya. Ya, Bapaknya meninggal hari itu dan Dahlia memilih belajar seperti biasa seakan tidak terjadi apa-apa.

“Ada dan tiada dirinya di dunia ini, tak ada bedanya bagiku. Sejak dulu begitu.Bahkan ketiadaannya di dunia ini barangkali lebih baik,” ujar Dahlia. Seruni hanya termangu.
 
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu. 

“Dahlia, Seruni, sedang apa kalian di dalam?” suara Emak terdengar dari balik pintu. 

Kedua kakak beradik itu berpandangan. Dahlia lalu beranjak membuka pintu. Seorang perempuan berusia 40 tahun berdiri di depan pintu. Ia menggunakan baju dan rok panjang. Kepalanya bertutupkan kerudung hitam. 

“Kenapa kalian di dalam kamar saja. Temuilah tamu yang bertakziyah,” ujar Mak.

Seruni dan Dahlia hanya mengangguk. Mereka meraih kerudung mereka yang tergeletak di tempat tidur lalu pergi keluar. Beberapa ibu-ibu masih duduk di tengah ruangan sambil membaca doa-doa. Entah apakah doa itu akan sampai kepada bapak mereka atau tidak, kedua gadis itu tiada peduli.

Mereka teringat guru ngaji mereka pernah berkata, bahwa doa anak yang shalih akan menolong orang tuanya apabila mereka telah meninggal. Namun, bibir Seruni tampak kelu. Bahkan untuk mendoakan pun terasa kaku.

Malam semakin larut. Hujan telah berhenti. Malam itu adalah malam terakhir bagi para tetamu untuk bertakziah. Suara mengaji makin terdengar sayup-sayup hingga akhirnya suara itu pun berhenti. 

 Seruni dan Dahlia tampak telah kembali ke kamar dan tertidur pulas. Emak masih tampak terjaga. Tangannya mulai melipati pakaian-pakaian laki-laki dewasa dari lemari. 

Pakaian itu ia masukkan ke dalam beberapa karung. Setelah semua selesai. Perempuan itu pun tertidur. Pulas.

***
Satu minggu sebelumnya.

“Run, coba kau lihat tanaman kopi kita. Apakah ada daun-daun yang menguning dan layu?” ujar Mak yang sedang sibuk menyiangi rumput bersama Kak Dahlia dengan arit pemotong rumput. Seruni lalu mencoba memerhatikan daun-daun kopi yang hijau. Daun-daun itu memiliki wangi khas, Seruni sangat menyukainya.

“Tak ada Mak. Seruni sudah tengok. Tak ada daun yang menguning sedikitpun,” ujar Seruni. Mendengar itu, terlihat wajah Mak tampak lega.

“Syukurlah kalau begitu. Jika kau tampak ada yang daun yang berwarna kuning dan layu, segera beritahu Mak,” ujar Mak pada Seruni. Seruni mengangguk. 

Seruni tahu betapa bahayanya jika sampai tanaman kopinya menguning dan layu. Itu berarti tanaman kopi terserang penyakit akibat parasit yang menempel di akar kopi. Jika sampai ada yang terkena, maka tanaman kopi itu bisa saja mati dalam waktu singkat seperti apa yang terjadi tahun lalu. 

Hanya dengan mengenyahkan parasit itu secepat mungkin, maka tanaman kopi itu akan selamat. Sekali kau biarkan parasit menggerogotimu, maka parasit itu akan terus bertahan dan mengambil alih apa yang kau punya. Begitu yang pernah Mak katakan.

“Tahun ini kita akan memetik kopi hijau saja. Rasanya tak bisa jika harus menunggu hingga bijinya berwarna merah,” ujar Mak di dalam pondok setelah selesai menyiangi rumput.

“Kenapa begitu Mak? Bukankah harga kopinya nanti jadi lebih murah? Kenapa tak bisa kita tunggu saja sampai bijinya berwarna merah?” Tanya Seruni yang sedang menepuk-nepuk celananya yang terkena kotoran tanah.

“Nanti ada maling yang mengambilnya. Kau tahu sendiri jika kebun kopi tak dijaga maka orang lain yang akan mengambil hasilnya. Kebun ini harus ada yang menunggunya sementara aku tak bisa menginap. Setiap pagi aku harus membantu Wakmu berjualan di pasar,” ujar Mak. Mendengar itu Kak Dahlia pun berkata,

“Kenapa bukan Bapak saja yang menginap di kebun? Bapak kan tak bekerja sedikit pun. Di rumah kerjaannya hanya duduk-duduk dan menyabung ayam. Kepala keluarga macam apa itu?” ujar Kak Dahlia tampak kesal.

Mak tak menjawab. Tangannya tampak sibuk membersihkan arit dari bekas rumput. 

“Makanlah ubi rebus itu. Setelah itu kita bersiap pulang. Hari sudah mulai petang,” jawab Emak. Emak bangkit menuju ke tempat pancuran air di depan pondok. Seruni dan Kak Dahlia terdiam sambil berpandangan. 

Setiap membicarakan Bapak, Mak hanya memilih diam. Sesuatu yang membuat Seruni dan Dahlia sebenarnya heran karena mereka tahu betapa selama ini laki-laki itu sering menyakiti Mak selama bertahun-tahun.
***

Hari mulai gelap. Setengah jam lagi tampaknya akan maghrib. Ketiga anak beranak itu akhirnya sampai di rumah. Namun, belumlah sampai mereka menginjakkan kaki ke lantai rumah. Sudah terdengar suara teriakan keras laki-laki dari dalam rumah.

"Lama sekali kalian pulang. Aku belum minum kopi petang ini. Dahlia, masakkan air panas. Buatkan kopi untukku," ujar lelaki itu. Wajah Kak Dahlia tampak kesal mendengarnya. Semua terlihat jelas dari raut mukanya. 

"Kami baru saja pulang. Dahlia lelah. Dahlia mau mandi Pak," ujar Kak Dahlia menimpali. 

"Heh.. Dari tadi aku juga lelah menunggu kalian disini. Aku sudah haus, harusnya kau bikinkan aku kopi," ujar Bapak dengan suara keras. 

"Kenapa Bapak tak buat sendiri saja?" Seruni menimpali sambil melengos ingin masuk ke dalam rumah seakan tak peduli. 

"Berani-beraninya anak kecil ini padaku? Aku ini Bapakmu! Paham kau?" suara Bapak terlihat marah. 

"Sudah, biarlah aku yang buatkan. Dahlia dan Seruni lelah telah membantuku di kebun seharian. Seharusnya kau paham," ujar Mak sambil meletakkan keranjang ke bawah. 

"Harusnya kau sendiri yang paham, suamimu menunggu sendiri disini. Hanya minta dibuatkan kopi. Istri macam apa yang membiarkan suaminya menunggu," ujar bapak geram. Tiba-tiba Dahlia kembali keluar dengan wajah merah sambil berkata,

 "Lalu lelaki macam apa yang telah membiarkan istri dan anaknya bekerja, sementara ia hanya duduk-duduk di rumah?" jawab Kak Dahlia sambil menatap ke arah bapak. Sepertinya itu adalah ekspresi kemarahan yang selama ini ia pendam bertahun-tahun.

“Heh, anak durhaka kau! Beraninya kau bicara begitu padaku? Siapa yang mengajarimu berucap begitu? Pasti kau ya Fatma! Kau yang mengajari anakmu untuk tak hormat padaku?” suara Bapak terdengar begitu keras sambil menatap ke arah Mak. Mak hanya diam dan tampak memalingkan muka.

“Bapaklah yang durhaka! Bapak hanya sibuk menyabung ayam, merokok dan main perempuan. Tak ada rasa tanggung jawab kepada kami semua. Bapak hanya menguras tenaga kami! Kami bukan babu! Bapaklah yang benalu?!” Kak Dahlia berkata dengan suara keras. Seruni hanya terdiam. 

Wajah Seruni memerah. Perasaannya bercampur aduk, antara lelah, marah dan ingin menangis. Sudah sejak lama ia ingin mengatakan hal yang sama. Namun belum pernah ia bisa seberani Kak Dahlia.

“Kurang ajar betul kau ini. Lebih baik mulai besok kau tak usah sekolah. Tak ada hormatnya dengan Bapak sendiri,” ujar Bapak tampak murka.

“Kau saja tak pernah menghargai Mak. Lalu bagaimana kami bisa menghargai kau sebagai Bapak?” suara Kak Dahlia tampak tertahan.  

“Beraninya kau ini dasar anak sialan!” Suara Bapak kian keras. Tangannya tampak terangkat seakan ingin menampar muka Kak Dahlia. Namun Mak yang sedari tadi diam lalu menepis tangan Bapak. 

“Jangan kau kasari anakku. Sudah cukup diriku yang kau sakiti,” jawab Mak sambil menantang Bapak.

Bapak tampak terkejut Kata-kata kasar langsung keluar dari mulutnya hingga tangannya pun ikut mendarat di pipi Mak.
Seruni dan Kak Dahlia tampak berteriak dan memeluk Mak sambil menangis. Muka Bapak memerah.

“Keluarga tak tahu diuntung! Emak dan anak sama-sama kurang ajar. Keluarga macam apa ini!” ujar lelaki itu tampak marah. Kak Dahlia dengan bercucuran air mata, ia menatap ke arah Bapak dengan mata memerah,

“Harusnya Bapak tanya ke diri Bapak sendiri! Bapak macam apa kau!” Dahlia berteriak. Emak menggenggam tangan Dahlia berusaha menenangkannya.

“Berisik kau! Punya istri dan anak tak penurut. Keluarga tak tahu diuntung!" ujar Bapak berteriak. Ia pun lalu pergi meninggalkan Mak dan berlalu menuju keluar. Seruni memandang ke arah punggung Bapak yang menghilang di antara senja yang memerah. 

“Apakah keluarga kita akan bahagia walau tanpa Bapak?” ujarnya. Dahlia dan Emak hanya terdiam dalam pikiran masing-masing. 

“Jikalau sebuah keluarga harus memiliki Bapak seperti dia, maka lebih baik aku tak punya keluarga. Cukuplah kita bertiga hidup bersama,” Dahlia berujar. 

Emak hanya terdiam sambil menatap bayangan kepergian Bapak petang itu dengan mata nanar. Ia tak pernah menyangka bahwa bayangan itu akan menjadi pemandangan terakhir bagi mereka. Beberapa hari setelah itu, mereka mendapat kabar kalau Bapak telah meninggal karena tertabrak kendaraan akibat mabuk-mabukan. 

Terkadang Seruni bertanya-tanya, apakah itu merupakan azab bagi seorang Bapak durhaka? Seruni maupun Dahlia tak pernah tahu. 

Yang jelas, kedua anak itu sepakat, tak ada gunanya seorang Bapak dalam sebuah keluarga, jika ia tak bisa mengisi relung hati isteri dan anaknya dengan cinta. Keluarga tanpa kepala mungkin bukanlah yang terbaik, tapi bisa jadi itu akan lebih baik daripada memiliki kepala yang ternyata “sakit”.

Posting Komentar untuk "Keluarga tanpa Kepala "