Perempuan dan Kesetaraan

pexels.com/Mikhail nilov


Ketika kita bicara tentang perempuan, mungkin saja masih ada anggapan bahwa peran perempuan itu hanyalah seputar sumur, kasur, dan dapur. Padahal, seiring perkembangan zaman, peran perempuan tidaklah sesempit itu.

Sebelum Islam muncul, kedudukan perempuan memang dipandang hina di beberapa belahan dunia, seperti di Eropa hingga Arab. Di tanah Arab, melahirkan bayi perempuan dianggap aib, sehingga tak jarang banyak bayi perempuan di masa itu yang dikubur hidup-hidup. Kisah kekejaman bangsa Arab saat itu bahkan sampai diabadikan di dalam Alquran. 

Jika kita bicara dari sudut pandang bahasa Indonesia, pada dasarnya, sebutan perempuan itu memiliki makna yang baik. Perempuan berasal dari empu  yang memiliki makna dihargai. Berbeda dengan “wanita”. Dalam bahasa Sansekerta wanita memiliki dasar kata wan yang berarti nafsu. Jadi kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau objek seks. 

Demikian juga Men dalam bahasa Belanda, wun dan schen dalam bahasa Jerman. Wanita diartikan sebagai who is being wanted (seseorang yang dibutuhkan) atau seseorang yang dihasrati atau diingini (Subhan, 2004).

Lalu apa tujuan saya menjabarkan pengertian perempuan dan wanita? Bahwasanya, saya merasa bahwa sejak dahulu telah ada diskriminasi dan justifikasi terhadap perempuan lewat panggilan, seperti halnya sebutan wanita yang seakan menganggap perempuan hanyalah sebagai objek pemuas nafsu. Sungguh begitu rendah pandangan terhadap perempuan di masa dulu.

Perempuan Oh Perempuan...


Saya akan berikan sedikit ilustrasi yang terinspirasi dari kejadian nyata yang saya temui. Ada seorang ibu yang tinggal di sebuah kampung. Ibu tersebut biasa terbangun dari sebelum subuh. Ia memasak dan mengurusi segala keperluan rumah tangga. 

Ketika suaminya bangun, kopi panas dan sarapan sudah terhidang di meja. Sembari menggendong anaknya dengan kain gendongan, sang Ibu bersiap untuk pergi kerja ke kebun. Di saat sang isteri bekerja, sang suami meminum kopi panas sambil menghisap sebatang rokok di teras rumah dengan begitu santainya.

Begitulah kira-kira ilustrasi yang saya temui di sebuah tempat, tepatnya di kampung halaman saya di Provinsi Bengkulu. Sebuah fenomena yang membuat diri saya yang saat itu masih remaja merasa heran. 

Saya melihat bahwa peran menjadi seorang ibu rumah tangga itu begitu berat. Betapa tidak, ia harus memasak, membersihkan rumah, mencuci dan mengurus anak. Di sela tanggung jawab itu ia pun juga harus bekerja. 

Lalu kemana suaminya? Kadang suaminya hanya bersantai duduk di depan rumah, kadang sibuk menyabung ayam. Bahkan kadang sibuk bersenda gurau dengan teman-temannya, sementara sang isteri tunggang langgang sibuk bekerja.

Tentu tak semuanya begitu. Ada banyak juga para Bapak yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Tapi ketimpangan peran antara suami dan istri masih tetap terasa dan menjadi budaya. Bahwa Perempuan harus mengalah. Bahwa perempuan harus lebih banyak berkorban.

 Apakah benar demikian? Ketika seorang perempuan berubah peran menjadi isteri dan seorang ibu, terkadang ia memang tak sempat mengurus dirinya sendiri. Ia bahkan mungkin harus kehilangan jati diri dan mimpinya, karena waktunya tercurahkan untuk melayani kebutuhan anak dan suami. Lalu apakah menjadi isteri dan ibu memang harus seberat itu?


Mungkinkah Suami dan Isteri itu Setara?

Saya percaya, baik laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Setiap kewajiban dan hak tersebut menurut saya tak perlu diperbandingkan.

Dalam Islam, laki-laki dianggap sebagai imam dalam keluarga. Seorang isteri wajib taat pada suami. Namun, kewajiban ini bukan berarti membolehkan laki-laki bersikap otoriter. 

Dalam sebuah pernikahan, suami dan isteri hendaklah saling melengkapi. Ketika ada masalah yang harus diselesaikan, maka harus saling berdiskusi, saling sumbang saran, bukan malah membuat instruksi yang bersifat satu pihak.
Contoh saja, Nabi Muhammad yang ketika beliau ketakutan saat mendapat wahyu pertama, Khadijah, istrinya ikut  memberi saran kepada Nabi untuk menemui paman Khadijah dan Rasullullah pun menerima itu.

Dalam peristiwa lain ketika berhaji, Rasulullah tak segan mengikuti saran isterinya, Ummu Salamah untuk mencukur rambutnya lebih dulu ketika orang lain saat itu terlihat enggan. Jadi, pada dasarnya seorang suami juga membutuhkan saran seorang isteri. 

Seorang suami tidak bisa bertindak diktator dan menjadilkan dalil bahwa “isteri harus taat kepada suami” sebagai tameng agar tidak mau mendengarkan saran dan pendapat isteri.
Seorang isteri juga bukanlah pembantu dalam tangga. Masih ingatkah bagaimana Rasulullah menjahit sendiri bajunya yang robek? Ketika tak ada makanan yang tersedia di rumah, Rasulullah tidak marah dan malah memilih berpuasa. 

Rasulullah juga memperbaiki sandalnya yang rusak dan ikut membantu pekerjaan isterinya. Rasulullah bukanlah suami yang suka menuntut isterinya. Bahkan saking lembutnya kepada isteri, ia rela tidur di luar hanya karena tak tega membangunkan isterinya yang sudah tertidur.

Jadi jika ada yang menganggap bahwa isteri hanyalah sebagai pemuas nafsu, koki, atau pembantu, barangkali ia tak pernah membaca shirah Nabawiyah. Bahwa betapa Rasulullah memuliakan isterinya. Rasulullah tak pernah berkata kasar apalagi sampai main tangan dan memukuli isteri ketika marah. Lalu apakah para suami sudah mencontoh itu semua?

Berbagi Tanggung Jawab tanpa Menyalahi Kodrat


Seorang suami bisa saja melakukan tugas rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah  dan mencuci piring. Tapi memang tak bisa dipungkiri, ada tugas-tugas lain yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Contohnya, mengandung, melahirkan dan menyusui.

Oleh karena itu, masing-masing harus saling memahami bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak bisa didelegasikan dan perlu dilakukan dengan rasa tanggung jawab. Tugas dan kewajiban kita barangkali ada yang berbeda, tapi kita tetap tak perlu terus-terusan melakukan perbandingan, karena membuat perbandingan malah bisa menimbulkan kecemburuan dan rasa tak bersyukur atas kemuliaan-kemuliaan yang Allah tetapkan kepada kita.

Menurut saya kesetaraan laki-laki dan perempuan bukan menjadi masalah utama. Kesetaraan haruslah seimbang dengan cara saling memahami hak dan tanggung jawab masing-masing. Begitu juga dalam rumah tangga. 

Saya percaya bahwa rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah hanya akan tercipta jika pasangan paham akan hak dan kewajibannya. Kesetaraan barangkali penting, tapi keinginan masing-masing pasangan untuk saling memberi dan menghargai, itu justru jauh lebih penting.


Daftar Pustaka :
Subhan, Zaitunah. 2004. “Kodrat Perempuan, Takdir atau Mitos?”. Yogyakarta. Pustaka Pesantren.

Posting Komentar untuk "Perempuan dan Kesetaraan "