Memahami Kesehatan Mental Ibu

Gambar : Pexels.com 


Beberapa waktu lalu aku sempat menulis tentang Kesehatan Mental di blogku. Nah kali ini yang akan dibahas adalah kesehatan mental pada ibu. Aku berkesempatan menjadi moderator di segmen sharingnya @mommeeid lewat ig live. Tentu salah satu alasan aku menerima tawaran menjadi moderator adalah karena aku merasa materinya sangat relevan ke diri sendiri.

Narasumber yang diundang saat itu adalah sosok yang sudah kukenal pula. Namanya Mutiara Khodijah. Adik angkatanku ketika kuliah di psikologi UI. Ia merupakan Konselor Rumah Samawa Jatinegara dan sering diundang menjadi narasumber dalam membahas kesehatan mental, parenting, kelas emosi, pubertas dsb. Untuk lebih mengenal lebih jauh, bisa kalian cek akun Instagramnya di @tipsibusehatmental ya karena beliau sering memposting tips-tips atau info seputar kesehatan mental. 


Nah itulah perkenalan singkat dengan narasumber. Mari kita lanjutkan ke materi. 


Saat sesi sharing Ig Live  (untuk tayangan ulang bisa kalian cek di Instagram @mommeeid) 



Seperti yang kita ketahui, seorang ibu memiliki banyak peran dalam kehidupannya. Ia adalah anak, seorang isteri, seorang ibu, seorang hamba Allah. Setiap peran itu memiliki tuntutan masing-masing. Tentu itu tak mudah. Terkadang akan ada kelelahan yang menerpa. Ada rasa jenuh yang mendera. Ditambah berbagai masalah yang harus diterima. Gak mudah tentu saja. 

Lalu, bolehkah seorang ibu mengakui rasa lelah itu? Bolehkah seorang ibu memvalidasi bahwa dirinya memang jenuh dan letih? 

Tentu saja boleh dan itu sungguh manusiawi. Dengan begitu banyak tuntutan yang dirasakan seorang ibu, maka tak mengapa jika dia mengakui rasa lelah dan letihnya itu. Justru jika dia hanya memendam rasa itu, yang ada malah emosi negatif itu akan semakin menumpuk dan bisa saja "meledak" seiring waktu. 

Maka dari itu, penting juga bagi pasangan dan orang terdekat untuk memahami perubahan pada diri ibu. Jika ibu sudah mulai tampak lelah, maka bantulah. Sungguh kasihan jika seorang ibu harus menanggung beban dan tuntutan sendirian. Bukankah demikian? 


Apa yang dimaksud Sehat Mental? 

Ketika kita bicara tentang Kesehatan Mental ibu, maka kita pun harus paham dulu dengan yang dimaksud sehat mental? Karena belum tentu kita bisa memahami makna kesehatan mental itu sendiri. 

Jika kita bicara tentang sehat mental, maka tidak sesederhana hitam dan putih, bukan sesederhana menilai ini sehat dan ini sakit. Tidak demikian. Sehat mental ibarat sebuah spektrum pelangi. Terkadang ia menurun, terkadang ia baik-baik saja. Sama saja dengan kesehatan fisik. Kadang ketika tidak sehat, tubuh jadi capek, kena flu, batuk dsb.

Namun, jika ditilik dari pengertian sehat mental menurut WHO, maka kriteria orang yang sehat mental ada empat :

1. Sadar potensi : Dia kenal dengan dirinya sendiri. Apa kekurangannya dan apa kelebihannya. 
2. Bisa mengelola stress keseharian 
3. Bisa produktif : produktif dalam bekerja maupun beraktivitas. 
4. Kontributif : Dia memiliki peran untuk keluarga, lingkungan sekitar dsb. 


Waspadai Virus Perusak Mental


Sebelum membahas lebih lanjut. Mari kita bahas tiga virus yang banyak merusak kesehatan mental, terutama mungkin banyak yang menyerang para ibu. Apa saja virus tersebut? 

1. Masa lalu yang terlalu disesali

Misalnya, ada seorang ibu resign dan dia menjalani aktivitas di rumah membersamai anak-anaknya. Lalu datanglah seseorang yang berkomentar,

"Kok resign? Sayang lho sama gelarnya?" . "Ih, kamu sih nikahnya kecepatan," dsb. 
Akhirnya kita pun jadi terbayang lagi ke masa lalu akhirnya kita pun menyesali. Padahal menyesali masa lalu adalah virus yang bisa merusak kesehatan mental kita. 

2. Masa kini yang tak dinikmati 

Kita tidak merasa puas dengan apa yang kita jalani. Bisa jadi karena kita sibuk membandingkan diri dengan orang lain, menganggap rumput tetangga lebih hijau. Sebenarnya melihat pencapaian orang tak selalu mengandung sesuatu yang negatif. Bisa jadi dengan melihat rumput tetangga kita justru jadi terinspirasi menjadi lebih baik atau kita jadi banyak belajar dari kehidupan orang lain.
 
Namun jika dirasa itu tidak memberikan insight, inspirasi ataupun pembelajaran bagi diri kita. Sebaiknya tak usah melihat kehidupan orang lain. Memang tidak mudah, tapi mau tak mau kita harus berjuang. Jika tidak, maka kita akan mengorbankan kesehatan mental kita sendiri. Jadi kita sendiri yang rugi kan? 

3. Masa Depan yang terlalu dikhawatirkan

Terlalu banyak kekhawatiran akan ini dan itu membuat kita tidak fokus pada apa yang dijalani saat ini. Maka perlu untuk kita mengevaluasi diri, jangan sampai overthingking dan malah tak fokus pada apa yang bisa kita kerjakan hari ini. 

Apakah Aku Baik-baik Saja? 


Untuk mengetahui apakah mental kita sehat, sebenarnya banyak indikatornya. Tapi secara sederhananya coba cek hal berikut. 

1. Cek Pola Tidur 

Pola tidur keseharian memengaruhi kesehatan mental. Misalnya insomnia, sering terbangun di malam hari, atau merasa tidur lama tapi saat bangun malah gal fresh, gak semangat dsb. Coba cek selama dua minggu terakhir bagaimana pola tidurnya. Apakah tidurku lelap? Nyaman atau malah sebaliknya?

2. Cek Pola Makan

Bagaimana pola makan selama dua minggu ini? Apakah makan tidak seperti biasa? Apakah tidak berselera makan? Apakah malah jadi terlalu banyak makan? Karena ada yang copying stressnya malah makan terus. Padahal dua-duanya tidak baik. 

Selain itu, orang-orang disekitarnya juga bisa melihat perubahan mental ibu dengan mengecek pola sosial ibu. Misalnya, mungkin selama ini sang ibu aktif ikut pengajian atau kegiatan di lingkungan rumah, kok sekarang sudah tidak lagi. Nah, hal-hal itu bisa dievaluasi kembali. 

Bisa juga dengan melihat perubahan karakter ibu yang biasanya suka ngomong, kok tiba-tiba jadi murung. Maka supporting system perlu segera memastikan apakah kondisi ibu baik-baik saja atau memang perlu meminta bantuan profesional. 


Lalu, Bagaimana Menjaga Kesehatan Mental?


Ada tiga P yang perlu dijaga. Apa sajakah itu? Perasaan, pikiran dan perilaku. Pada dasarnya ketiga hal tersebut saling berkaitan. Perasaan memengaruhi pikiran, pikiran pun memengaruhi perilaku. 

Misalnya, kita membaca berita ada seorang artis yang terlihat tanpa cela, cantik dan sholihah, namun kok diceraikan oleh suaminya? Akhirnya muncul prasangka-prasangka negatif di pikiran kita. 

Lalu, ketika melihat suami sendiri kita pun jadi mulai curiga. Mulai diam-diam cek Hp suami, mulai interogasi sana sini, mulai cek media sosialnya dsb. Hal-hal itu malah justru membuat kita tidak menjadi manusia yang berdaya. 

Tanpa disadari kita malah sibuk berpikiran macam-macam. Akibatnya apa? Prioritas mengurus anak dan rumah tangga pun jadi keteteran. Oleh karena itu, penting untuk menjaga asupan perasaan dan pikiran agar dipenuhi hal-hal positif karena kelak itu akan memengaruhi perilaku kita. 


Maka bagaimana Jika Ibu sudah Mulai Merasa Tak Baik-baik Saja? 


Ketika seorang ibu mulai merasa tidak baik-baik saja, maka coba lakukan aktivitas yang bisa menyeimbangkan emosi. Setiap individu mungkin bisa berbeda. 

Misalnya, dengan mulai menerima perasaan. Terima dan akui bahwa kita  memang sedang tidak baik-baik saja. Jika perlu dialirkan maka bisa dialirkan dengan menulis atau melakukan aktivitas journaling. 

Dengan journaling kita bisa melakukan tracking pada emosi kita sendiri. Misalnya saja, "ooh.. Ternyata aku gak murung setiap saat kok. Ada saatnya aku juga merasa senang terhadap sesuatu,"  Maka penting untuk melakukan journaling dan mengamati kondisi emosi kita setiap hari.

Bisa juga dengan sharing dan meminta bantuan pada supporting system. Misalnya ada suami, orang tua, saudara, dan circle lain yang mungkin bisa dipercaya dan bisa memberikan support.

Jika ragu maka bisa ceritakan ke profesional. Daripada nanti malah curhat jalanan di media sosial, yang bukannya malah mengurai benang, tapi justru menambah kekusutan.

Kita juga perlu mengenali stabilisasi emosi kita. Misalnya dengan melakukan latihan pernapasan, sholat malam dan berdzikir. 

Berdzikir disini bukan berdzikir sambil berteriak dengan penuh emosi, "Astagfirullahal'adzim!!!" seperti yang kadang dilakukan ibu-ibu ketika memarahi anaknya hehe. Alih-alih dzikir bisa membuat ibu jadi tenang, yang ada kitanya masih rungsing dan fatalnya si anak kelak akan mengasosiasikan dzikir dengan kemarahan. Padahal hakikatnya dzikir itu adalah mengingat Allah agar hati kita jadi tenang. Jadi, mari kita perbaiki cara ibadah kita agar kondisi jiwa kita pun bisa jadi lebih baik. 

Pada Akhirnya.. 

Selain tentunya menjaga dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah, penting sekali untuk orang-orang di sekeliling ibu agar peka pada perubahan sang ibu sendiri. Ingatlah pula bahwa setiap ibu tetap bisa berdaya (sekalipun hanya di rumah saja) dengan melakukan aktivitas sesuai hobi yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing. 

Perlu juga circle atau komunitas yang bisa saling menguatkan ibu agar ibu tak merasa sendiri. Jangan ragu untuk mendatangi profesional jika dirasa memang butuh bantuan. Ingat, jangan pernah abai pada kesejahteraan psikologis sendiri. 

Itulah akhir dari rangkuman Ig Live kali ini. Semoga bisa memberikan manfaat bagi yang membaca dan tentunya semoga bisa jadi pengingat untuk diri sendiri.

Posting Komentar untuk "Memahami Kesehatan Mental Ibu"