Review Buku : How an Ordinary Woman Can Have an Extraordinary Life



Joy Weston


Judul Buku: How an Ordinary Woman Can Have an Extraordinary Life
Penulis: Joy Weston
Jumlah halaman:  216 hal
Penerbit: Gramedia
Tanggal-bulan-tahun diterbitkan: 2005
ISBN: 979-22-1147-0


Buku ini bercerita tentang resep-resep agar perempuan merasa bahagia. Awalnya saya tertarik untuk membaca buku ini karena ketika saya baca sedikit tentang penulisnya, saya melihat perempuan ini adalah perempuan yang sedang berbagi pengalaman nyata dalam kehidupannya.

Saya pikir, akan menakjubkan menemukan inspirasi-inspirasi yang berasal dari kisah nyata. Meskipun lama-kelamaan akhirnya saya agak bosan juga bacanya. hehe.

Dari sekian banyak “resep” yang saya baca, ada dua hal penting yang menarik untuk saya tangkap yaitu bagian komunikasi dan penderitaan.  Di bagian komunikasi ini penulis bercerita tentang perbedaan komunikasi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.

Ternyata, cukup banyak pasangan yang menikah mengalami keretakan dalam rumah tangga karena masalah komunikasi. Disini penulis menuliskan salah satu contoh kasusnya. 

Misalnya ketika  suami sedang jengkel terhadap sesuatu, sebagai pendamping, seorang isteri berharap untuk meringankan masalahnya. Sehingga saat suami menceritakan masalahnya, si isteri berusaha memberikan saran dan solusi kepadanya.

Sayangnya, terkadang saat seorang lelaki sedang bercerita, adakalanya mereka melakukan hal itu bukan untuk mendapatkan nasehat-nasehat dari kita, tetapi mereka hanya ingin didengar dan ingin mendapatkan rasa aman untuk menceritakan apa yang tadi membuatnya jengkel. Akhirnya, niat yang awalnya baik malah berubah menjadi masalah baru dan membuat semuanya menjadi lebih runyam. 

Sebagai perempuan (atau mungkin juga sebaliknya) terkadang kita bingung kapan ya saatnya pasangan kita itu hanya ingin didengar  saja saat curhat dan kapan saatnya dia memang sedang ingin meminta solusi dari kita? Untuk mengatasinya, penulis memberikan metodenya dengan menciptakan solusi satu-dua-tiga. 

Caranya begini, (ini mengutip dari buku penulis), misalkan kita baru pulang dengan hati jengkel dan ingin bercerita kepada pasangan tanpa menginginkan reaksi, pendapat dan saran mereka. Katakan kepada pasanganmu kode berikut, 

“Ada yang ingin kuceritakan kepadamu, dan itu adalah satu”. 

Satu berarti, “ada suatu hal yang sangat penting yang ingin kukatakan, dan aku ingin kamu mendengarkan tanpa interupsi apapun. Ini hanya perasaanku, dan aku ingin perasaan ini tidak dinilai, atau membuatku merasa bersalah karena merasakannya. Jangan bersikap tidak setuju, mengangguk, memutar bola mata atau menyeringai. Tolong, aku hanya butuh kau menerima komunikasi ini.” Begitu kira-kira makna dari Satu ini, dan ketika kita menginginkan kondisi seperti itu, cukup kasih kode satu kepada pasangan kita.


Kode dua tidak begitu berbeda dengan satu. Hanya saja ada pengecualian, yaitu diperbolehkan pasangan kita untuk memberikan sedikit masukan, selagi masukan tersebut diinginkan dan bukan dengan maksud membetulkan atau menyerang.  

Kode tiga maknanya adalah “Baiklah sayang, lakukan saja! Ini undangan untuk  ‘menyembuhkan’ dan ‘melayani’. Semua solusi atau strategi yang bisa menambah, mengubah, atau membetulkan situasi diperbolehkan”.

Nah, ketika pasangan sudah menyepakati hal tersebut, maka itu akan lebih memudahkan keterampilan mereka dalam berkomunikasi tanpa perlu adanya kesalahpahaman. Hanya bilang satu, dua, tiga, dan keduanya pun akan langsung mengerti.

Bagian tersebut adalah bagian yang berkaitan dengan komunikasi. Bagian kedua yang cukup menarik adalah tentang penderitaan. Yang membuat menarik adalah tentang kisah perempuan yang sedang bersedih dan mengeluh kepada seorang Rabbi  (pendetanya Yahudi gitu).

Ceritanya begini. Pada suatu hari, Laura (teman si penulis) sedang duduk di taman sinagoge. Laura adalah seorang pendeta. 

Ia sedang menunggu Rabbi Gelberman yang sedang menyelesaikan khotbahnya. Ketika sang Rabbi mencari Laura, dia terkejut melihat Laura tengah menangis. Ia mendekatinya dan bertanya tentang apa yang terjadi.

Laura menjawab “Oh Rabbi, saya sangat sedih. Saya melamar ke Weight Watcher untuk menjadi instruktur  dan mereka menolak saya. Saya begitu kecewa karena saya sangat menginginkan pekerjaan itu.”
Lalu Rabbi menjawab “tahukah kau ava shiva itu?’

“Tentu saya tahu, Rabbi. Shiva adalah masa berduka karena meninggalnya orang tua, saudara kandung, anak, atau kakek nenek, atau paman dan bibi yang kita cintai, ” jawab Laura.

“Betul, Laura. Sekarang, berapa lama masa berkabung Shiva untuk salah satu anggota keluargamu?” tanya Rabbi.

“Tujuh hari, tetapi mengapa Anda menanyakan hal ini?” tanya Laura. 

“Karena Laura,” kata sang Rabbi, “Kalau kau menghabiskan satu minggu berduka untuk orang tua, kakak-adik, anak, suami atau isteri, kakek-nenek, atau paman-bibi yang kau cintai, berapa lama menurutmu harga Weight Watcher? Mungkin dua puluh menit?“

Sebuah kisah menarik yang menjelaskan bahwa kita terkadang masih suka bersedih akan hal-hal yang tidak penting. Jadi kenapa perlu bersedih terlalu lama?kesedihan itu hanya akan menyisihkan kebahagiaan dan rasa syukur yang harusnya kita miliki.

Nah, itulah ulasan terkait buku ini. Cukup sekian saja. Semoga bermanfaat dan semoga saya bisa melanjutkan review buku selanjutnya. Jangan lupa mampir ke review bukuku yang lainnya ya. Silakan baca disini

Posting Komentar untuk "Review Buku : How an Ordinary Woman Can Have an Extraordinary Life"